Mirza Buncis

Sebenarnya Jaya menunggu reaksi keras lagi kasar dari Mirza dengan jawabannya. Tapi ini lain, Mirza membisu. Menatapnya tenang seperti laut tanpa ombak. Akhir dari tatapan itu, dia tersenyum. Senyum yang tak bisa Jaya mengerti.

Hujan pertama akhirnya jatuh pada November, setelah terserang gersang yang hampir saja meretakkan bumi. Bukannya menjadi anugerah buat Yani, tapi sebaliknya, membawa bencana. Dan semua itu karena ulah Mirza, Kawazaki Ninja-nya yang meraung masuk halaman sekolah, melaju seolah di jalanan umum. Genangan air yang kebetulan sejajar dengan posisi langkah Yani, digilas ban dengan sengaja, hingga air keruhnya terpercik ke seragam Yani.
Yani ingin berteriak, mencaci, menyumpahi, bahkan melemparnya dengan batu yang kebetulan tergeletak di dekatnya, tapi Yani merasa itu percuma. Di pihak Mirza, bukannya menghentikan motor lalu minta maaf, malah berbalik dan mengedipkan mata kiri ke arah Yani. Kedipan yang mengejek lagi sinis.
Bukan hanya di mata Yani, hampir semua penghuni sekolah, utamanya cewek, menangkap sosok Mirza sebagai cowok kurang ajar. Mungkin lebih tepat lagi disebut bejat. Penampilannya saja sudah urakan, telinga dan hidung ditindik, rambut dicat pirang, ujung kemeja tak pernah masuk dalam celana, bahkan jarang dikancing, hingga otot-ototnya yang kekar nampak jelas terbalut kaos ketat. Melihat penampilan seperti itu di mal, mungkin wajar-wajar saja, tapi ini di sekolah. Meski statusnya sekolah swasta, ini tempat orang-orang yang ingin dididik.
Namun swasta-nya itulah yang membuat Mirza bisa berbuat seenak perut. Papanya adalah pemilik yayasan sekolah ini, jadi guru pun tak berani “memberinya pelajaran” jika dia benar-benar telah kurang ajar. Mirza pun semakin mengannggap dirinya sebagai “tuhan”.

Mirza punya banyak massa cowok, yang tentu saja teman sesama urakan, hingga di kantin sekolah pun tak sungkan ngomong vulgar, lalu tertawa terbahak-bahak hingga langit-langitnya kelihatan. Pokoknya, semua yang ada pada Mirza, membuat Yani dan cewek lain harus rela menerima sakit hati tanpa bisa membalasnya.
“Cewek-cewek di sekolah ini nggak ada yang selevel denganku. Mereka adalah Ninox sentulata malaccensis. Itu nama Latin untuk pungguk. Elang malam yang suka memandang bulan. Kalau bukan bulan yang jatuh untukmu, jangan harap Mirza jadi milikmu,” ungkapnya sombong saat keputusannya untuk menjomblo dipertanyakan.
Memang sih, Mirza cakep. Dari matanya yang tajam, selintas dia seperti blasteran India. Belum lagi, tahu matanya begitu memukau orang yang melihatnya, terkadang dia menghiasinya dengan celak, hingga bola mata itu semakin manyala. Belum lagi bibirnya yang terukir sempurna, dan merah alaminya melebihi cewek berlipstik. Ya, tak ada yang kurang pada diri Mirza, kecuali kekurangajarannya.
Ada lagi tentang kesempurnaan Mirza, tubuh atletisnya begitu memukau saat terbawa langkah. Melenggang seperti di atas sebuah cat walk, mungkin karena dia merasa selalu jadi bahan perhatian, hingga langkah pun harus sesempurna mungkin. Sosok Mirza jauh lebih sempurna dibanding dengan model ataupun bintang sinetron yang sering membuat ABG screaming.
“Kenapa dengan seragammu?”
Yani, yang menerima pertanyaan Jaya, ingin menyembunyikan kejadian yang sebenarnya, tapi kegugupannya membuat Jaya menuduh Mirza sebagai pelakunya.
“Ini ulah Mirza, kan?”
“Nggak usah diambil hati, Jay!”
“Tapi ini bukan yang pertama kalinya, Yan. Ini pelecehan buatku sebagai pacar kamu.”
“Tapi diladenin malah tambah ruwet. Kamu mau dikeluarin sekolah gara-gara berurusan dengan dia.”
“Kamu nggak ngerti perasaan cowok, Yan. Lalu apa gunanya kamu jadi pacar aku, kalau aku terus-terusan membiarkan orang mempermainkan kamu, nyakitin kamu.”
Jaya sudah berlalu dari hadapan Yani, untuk mencari Mirza dan membuat perhitungan, tapi Yani kembali berhasil mencegatnya. Tanpa sadar, Yani mencengkeram pergelangan Jaya keras.

“Kumohon, Jay! Jangan layani emosi kamu. Aku tahu kamu mencintai aku, ingin melindungi aku... tapi mengalah di depan Mirza, jauh lebih kuhargai. Semua orang kenal Mirza. Dia itu kasar, keras hati, kurang ajar, bejat…”
“Dan dia akan terus begitu, jika nggak diberi pelajaran…”
“Melawan orang yang keras hati seperti dia, sama halnya ikut menjadi budak nafsu.”
Jaya terdiam. Bukan karena emosinya telah reda, tapi karena tak tega melihat Yani memelas di depannya. Dia tetap menyimpan dendamnya untuk Mirza. Dendam itu mengepul dalam kawah hatinya, dan suatu saat akan diletuskannya di depan Mirza.
***
Jaya sengaja terlambat masuk kantin. Dia tahu kebiasaan Mirza dan teman geng-nya yang selalu terlambat masuk kelas dengan nongkrong di kantin. Jaya juga melakukan itu, dia tak perduli, bel yang barusan berbunyi menandakan dia harus duduk manis di kelas untuk menerima pelajaran Kimia kesukaannya.
Dia mengambil posisi tepat bersebelahan meja dengan Mirza dan teman geng-nya.
“Bakso tanpa mie, minumnya es teh.” Pesan Jaya tanpa memperdulikan bagaimana reaksi Mirza yang tak jauh darinya.
Sementara Mirza sendiri, tak mampu menahan keheranannya, melihat sikap Jaya hari ini. Dia tahu betul, Jaya paling tak suka masuk kelas terlambat. Sebagai ketua kelas, dia bahkan menyiapkan semua perlengkapan kelas, mulai dari spidol, penghapus, hingga papan tulis yang harus bersih sebelum guru masuk.
Mirza juga sangat kenal, Jaya orangnya bersih dan selalu berpenampilan rapi. Model rambut yang selalu cepak, seolah agar terhindar dari tiupan angin yang bisa saja mengacak-acak rambut. Tapi kali ini, Jaya masuk kantin dengan ujung kemeja yang keluar dari celana, juga dengan dua kancing atas yang dibiarkan menelanjangi dadanya.
Sebenarnya hingga hal-hal terkecil tentang Jaya pun, Mirza tahu semua. Tentang bibir tak tebal Jaya yang selalu mengukir senyum manis untuk semua orang, kecuali untuk Mirza. Juga tentang tutur kata Jaya yang selalu sopan.
Ketika Mirza meneguk teh es-nya, sambil melirik ke arah Mirza, barulah dia terjaga, selama ini dia selalu mengusili Yani, pacar Jaya. Mirza mengatur napas setelah menyadari hal itu, tapi bukan berarti takut. Tubuh atletisnya tak hanya terbentuk di fitness centre, tapi juga di perguruan bela diri karate yang digelutinya. Jadi sangatlah mustahil untuk takut pada Jaya.

Entah apa maksudnya, Mirza malah mengedipkan mata ke arah teman geng-nya yang lain, sebagai isyarat agar mereka meninggalkan kantin. Dan kini tinggallah mereka berdua, pemilik kantin pun sibuk mengurus dapur, setelah kebanjiran pelanggan di jam istirahat barusan.
“Apa maksud kamu mengusili dan mengerjai Yani terus-terusan?” Jaya berucap tanpa mengalihkan tatapan ke arah Mirza di meja sebelah, karena dia yakin Mirza sedang memperhatikannya.
“Atau perlu kuberi tahu dengan caraku sendiri bahwa Yani itu pacarku. Dan sebagai cowoknya, tentu aku sangat merasa tersinggung jika ada yang macam-macam ke dia.”
Kali ini Jaya sudah berbalik untuk mengarahkan tatapan ke arah Mirza, dan Mirza telah melangkah ke mejanya. Di bangku tepat depannya.
Untuk yang pertama kalinya, Jaya tak menangkap sinyal antagonis pada sikap dan tatapan Mirza.
“Aku menganggu Yani, karena kutahu dia pacar kamu. Ini yang aku inginkan, kamu datang padaku, bicara baik-baik dan mengutarakan apa maumu.”
“Mauku? Jangan ganggu Yani lagi!”
“Dengan satu syarat…”
“Yani siapamu hingga kamu memberiku syarat untuk menjaganya?”
Jaya menggeser bakso pesanannya dari hadapannya, yang memang belum pernah disentuhnya. Dia ingin, antara dia dan Mirza, tak ada yang menghalanginya, kecuali terpisah oleh meja persegi yang mereka hadapi.
“Jadi kamu nggak mau mendengar syaratku?”
Jaya terdiam, emosi yang mengendap di kawah hatinya, sudah naik ke ubun-ubun. Sedikit Mirza salah bicara, atau bertingkah salah di depannya, emosi itu akan mengeluarkan lava.
“Aku ingin kamu bergabung denganku…”
“Maksudmu, menjadi pengacau sekolah, tukang onar? Mirza, sadar nggak sih? Selain kamu, nggak ada yang bangga atas sikap kasarmu itu. Lagi pula, apa yang kamu cari? Kekurangajaranmu malah membuat orang nggak ada yang mau berteman dengan kamu.”
“Kamu mau apa nggak bergabung denganku?!” kata Mirza lebih keras.
“Nggak!” Jaya lebih keras lagi.
Sebenarnya Jaya menunggu reaksi keras lagi kasar dari Mirza dengan jawabannya. Tapi ini lain, Mirza membisu. Menatapnya tenang seperti laut tanpa ombak. Akhir dari tatapan itu, dia tersenyum. Senyum yang tak bisa Jaya mengerti.

“Kamu orang yang pertama menolak ajakanku untuk berteman.”
“Bukan cuma aku, semua orang di sekolah ini sesungguhnya akan menjadi teman kamu jika kamu nggak kurang ajar seperti yang selama ini kamu sikapkan.”
Menurut Jaya, kalimat yang baru saja diucapkannya sangatlah sederhana. Tapi siapa sangka, hati keras Mirza tiba-tiba luluh, mencair. Bahkan, tanpa segan, tanpa takut harga dirinya jatuh, dia meraih tangan Jaya dan menggenggamnya.
“Maafkan aku, aku ingin jadi temanmu!” ucapnya dengan tatapan yang masih saja menguasai seluruh wajah Jaya.
Jaya mengangguk. Perlahan dia lepaskan tangannya dari genggaman Mirza. Dia membalas senyum Mirza, lalu melangkah pergi.
“Kita temanan, kan?”
Langkah Jaya terhenti. Tanpa berbalik dia mengangguk. Lagi-lagi langkahnya tak bisa dia lanjutkan saat Mirza meraih pergelangannya dan memasangkan dua kancing baju Jaya yang terlepas. Jaya mengikut, saat Mirza dengan tenangnya, tanpa dosa. merangkul bahu Jaya melangkah keluar kantin.
Semua terperangah, ketika Mirza masuk kelas dengan tangannya yang masih di bahu Jaya. Ini adalah pemandangan terindah, seperti pertemuan siang dan malam, di suatu waktu yang disebut senja. Mirza adalah siang dengan panasnya yang menyengat, dan Jaya adalah malam dengan dinginnya yang menyelimut. Keduanya tiba-tiba saling membutuhkan.
***
Tiba di rumah, Mirza langsung masuk kamar. Melepas giwang di tindikan telinga dan hidungnya. Dia menatap wajahnya di cermin. Dia sangat benci pada matanya, pada bibirnya, pada kulit putih bersihnya.
Praaak! Semua body lotion, lotion pemutih, pembersih wajah anti acne, deodoran, bedak cowok, hingga celak dan pelembab bibir, dihimpunnya dengan kasar lalu dilemparkannya ke cermin yang tengah ditatapnya.
Baju karate dengan sabuk hitamnya, beserta piala-piala penghargannya, hingga barbel dengan segala ukuran, dan semua peralatan fitness, dia lemparkan keluar hingga memecahkan kaca jendela.

Dia benci pada dirinya, sangat benci. Selama ini kesibukannya di tempat fitness, kepiawaiannya di olahraga bela diri, hanyalah untuk menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya. Beralasan menganggap semua cewek pungguk di matanya, padahal hatinya memang tak pernah tersentuh oleh tatapan cewek mana pun. Bergaya ala cowok dengan telinga dan hidung ditindik, sampai bersikap kasar dan kurang ajar, semua agar dia menjadi lelaki yang sesungguhnya. Tapi sungguh, sungguh tak bisa dia mengingkari hatinya yang kagum pada Jaya, telah setara dengan perasaan cinta.
“Mirza banci!” teriak hatinya sekeras mungkin saat dia semakin ingin terus ada di dekat Jaya.
Dia tahu, itu adalah hal yang sangat mustahil bahkan sangat memalukan jika Jaya atau ada orang lain tahu perasaannya. Dia tak ingin cinta seperti itu, tapi itulah yang selalu datang bertamu di hatinya.
Dia menangis sendiri. Sementara Jaya yang dirindukannya tertawa geli, bahkan terbahak-bahak.
“Kurasakan ada yang lain pada Mirza saat dia menggenggam tanganku, menggadeng bahuku,” ceritanya pada Yani.
“Maksudmu?”
“Mirza itu buncis.”
“Buncis?”
“Kamu kenal buncis, kan? Nama latinnya phaseolus vulgaris, sejenis kacang-kacangan, tapi nggak ada orang yang menyebutnya kacang buncis. Beda dengan kacang kedelai, kacang merah, kacang panjang…”
Yani masih mengerutkan kening.
“Mirza itu cowok, tapi nggak pantas disebut cowok. Karena dia banci! Sikap kasarnya, tubuh atletisnya, hingga kebiasaannya bercerita vulgar, hanyalah untuk menipu semua orang buat menunjukkan bahwa dia cowok sejati. Padahal, cowok nggak harus identik dengan semua itu. Cowok juga punya hati, tapi bukan hati yang suka sejenis seperti Mirza.” Jaya terbahak-bahak lagi.
Yani tetap terdiam. Yani bahkan kasihan membayangkan konflik batin yang menyiksa Mirza. Yani tahu, itu bukan inginnya, melainkan sebuah cerita takdir, yang jika dia ingin mengubahnya, masih akan ada kesempatan menemukan happy ending.
Air mata pertama Mirza, akhirnya jatuh pada November. Inilah yang pertama kalinya dia menangisi ketidaksempurnaannya, setelah terserang gersang yang hampir saja meretakkan bumi hatinya, karena selalu dipaksakannya untuk menjadi sosok yang bukan dirinya.






S.G.M

0 comments:

Post a Comment

NO CommeNt, NO Cry :D

avatarThe dreamer

Copyright © 1996 Fresh OrangeTemplate Modification by : ARIE SANJAYA{}

NIKMATILAH ARTIKEL DIBLOG INI SESEGAR BUAH JERUK!