Siapa Dia ...???

Hhhmmm..Siapa sih dia...??? Kok tiba-tiba dia ada di tengah-tengah kita...??? Untuk siapa dia datang...???,Untuk apa dia datang....??? dari mana dia datang...??? dan masih banyak pertanyaan yang mengganjal tentang dia,untuk dia!!!


Pertengahan September 2010 setelah kita libur hari raya seperti biasa kita kembali bekerja dan bertemu rekan-rekan kerja yang lain.Memulai aktivitas seperti biasa, tapi ada hal yang tidak biasa saat itu, karena di tempat kita kehadiran seseorang yang sama sekali tidak kita kenal tiba-tiba udah ada di dapur sedang mencuci piring,sepertinya dia habis makan.

Hari Pertama aku masih acuh, karena yang seharusnya menyapa atau minimal tersenyum duluan itu dia bukan aku! karena dia orang baru harusnya dia tau lah mesti bagaimana menentukan sikap selaku orang baru terhadap orang - orang disini (yang baru dia kenal)???!!!

Hari kedua aku makin acuh saja,karena dalam dua hari saja orang seperti dia sudah bisa aku tebak, dia orangnya judes abis...kenapa aku berkesimpulan seperti itu??? ya, karena dari raut muka dia saja sudah kelihatan muka judes dan ternyata tafsiranku terbukti!!! Dari cara dia ngomong dengan nada tinggi dan sorot matanya di barengi dengan mengerutkan dahinya!
Tau gak sob...???yang lebih parah lagi baru masuk ke A**S udah nempati posisi Receptionist!!! Gilaaaaaa....kok bisa ya...??? padahal kita-kita disini yang sekarang ada di posisi yang lebih baik memulai semuanya dari NOL, ada yang memulai dari jadi Office Boy, Loundry dan lainnya, tapi dia hebat banget baru masuk udah indehoyyy ....
aku jadi kasihan sama staff yang udah mengabdi kerja lama buat Perusahan ini yang posisinya belum menjadi lebih baik gara-gara kehadiran mahkluk menyebalkan itu!!!

Next Time di lanjut lagi deh....

Kosong

Ngapain Lu Buka Artikel yang ini...????
Kan udah gue kasih tau judul postinganya juga "Kosong"
jadi ya... KOSONG deh...

Love is like water

“Di dalam hidup ini harus ada yang kita banggakan, Emir,” kata Ayah suatu hari, sebelum kembali ke tempat tugas, di Sydney.

Gadis bertubuh kurus, berkulit hitam manis, pendiam, yang bernama Emiriana itu tiba-tiba raib. Teman-temannya di kelas II B SMA Negeri Unggulan I merasa kehilangan dia, setelah liburan panjang. Pertanyaan gencar di antara teman-teman sekelasnya. Ke mana gadis yang sehari-hari disapa Emir itu pergi. Mengapa dia pergi tanpa pamit? Apa sebab dia menghilang tanpa jejak?

“Coba telepon ke rumahnya, Dini!” kata Meinar setibanya di rumah Dini.

“Hanya Bik Genah, si pembantu rumah tangga yang menunggu rumah itu, Mei,” ujar Dini.

“Apa kata Bik Genah?” Meinar bertanya lagi.
“Katanya, Emir pamit kepada seisi rumah pada hari libur pertama.

Bersamaan dengan kepergian Emir, 0m Faruk dan Tante Lili kembali ke tempat tugas di Sydney. Jadi, kusimpulkan, Emir enggak ikut orangtuanya, Mei.” Dini menjelaskan.

“Ya, pasti enggaklah,” ujar Meinar. “Sebab, setahuku, sejak lahir sampai selesai sekolah setingkat SMP dia di luar negeri melulu. Bayangkan, selama sembilan tahun Emir berada di berbagai kota di benua Amerika, Eropa, dan Australia. Kata Emir, dia sudah bosan di luar negeri. Dia ingin menetap di Indonesia yang hijau,” cerita Mei.

Seingat Dini, selama di SMA, Emir adalah pencinta alam. Setiap libur dia menjelajah berbagai pulau. Baginya, dana tidak pernah jadi masalah. Bunga depositonya selalu mencukupi kebutuhannya.

“Anak tunggal 0m Faruk dan Tante Lili itu memang gadis petualang,” kata Mei setelah menghabiskan es krim vanila yang dihidangkan Dini. “Dia suka menyendiri, menulis catatan harian, memotret, membuat film dokumenter, dan bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya,” sambung Meinar.

Mariam, teman sebangku Emiriana punya pendapat lain tentang kesenangan Emir bertualang.

“Emir merasa kesepian bila selalu sendirian di rumah,” kata Mariam suatu hari di kelas kepada Dini dan Meinar.

“Untuk apa dua pembantu rumah tangga, Bik Genah dan suaminya, Mang Udin?” tanya Dini, hari itu, di kelas, saat jam istirahat.

“Din, enggak nyambung pikiran Emir dan pikiran suami-istri itu,” tukas Mariam. “Emir itu kutu buku sejak kecil. Saat di TK, katanya, dia sudah biasa membaca buku cerita. Sedang Bik Genah dan suaminya membaca saja masih mengeja. Jadi, kedua manusia paruh baya itu bagi Emir benar-benar sekadar teman. Tak lebih dari itu,” tambah Mariam.

Dini dan Meinar mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar cerita Mariam itu.

“Aku makin ngerti tentang Emiriana,” bisik Meinar.

“Dia kan anak orang-orang pintar, Mei,” kata Dini.

“Yes, my dear, I see,” ujar Meinar..

Emiriana sangat sadar, dia itu adalah anak tunggal orang pintar. Kalau tidak pintar, tidak mungkinlah mereka bisa jadi staf di kedutaan. Tetapi, di kelas, selama ini, Emir tidak menonjol. Setiap terima rapor maupun kenaikan kelas, dia paling tinggi mendapat ranking sepuluh di kelas. Hal itu selalu menjadi pikiran Emir. Sering sekali, Emir merasa dirinya tidak cerdas. Dia paham, tidak selalu anak orang pintar sama pintarnya dengan orangtuanya. Sebaliknya, tidak jarang anak-anak orang biasa, wong ndeso, bisa saja berotak cerdas.

Sebenarnya, Emiriana mengembara setiap hari libur adalah dalam rangka mencari tahu banyak hal tentang kehidupan ini. Terutama, dia ingin bertanya apa saja tentang misteri dirinya sendiri.

Sungguhpun Emir tidak menjadi siswi yang menonjol di bidang pelajaran di sekolah, dia tidak rendah diri. Emir telah menemukan kekuatan di bidang lain, yakni bidang seni, terutama seni rupa dan seni sastra. Lukisan-lukisannya, puisi dan cerita pendeknya sudah menghiasi majalah dinding di sekolah dan dimuat di majalah yang berbobot di luar sekolah. Saat kelas naik kelas dua, Emir sudah berani pameran tunggal lukisannya di Galeri Nasional. Saat itu 57 lukisannya dipamerkan dan mendapat perhatian para kritikus dan kolektor lukisan.

Jika Emir disebut-sebut sebagai siswi yang kecerdasannya biasa-biasa saja, itu dia terima dengan ikhlas. Bila kecerdasan yang biasa-biasa saja itu dinilai orang lain adalah suatu kekurangan, Emir pun paham. Dia telah belajar sekeras-sekerasnya. Lalu, apa yang dia banggakan di usia remaja? Kecantikan? No way! Emir tidak pernah merasa dirinya cantik atau bertubuh indah. Fisiknya biasa-biasa saja. Kulitnya hitam manis. Tubuhnya boleh dibilang ceking.
“Di dalam hidup ini harus ada yang kita banggakan, Emir,” kata Ayah suatu hari, sebelum kembali ke tempat tugas, di Sydney. “Nah, pertanyaan Ayah, apa yang Emir banggakan di usia remajamu?” sambung Ayah Faruk.

“Menurut pendapat Ayah, apa yang patut Emir banggakan?” Emir balik bertanya kepada Ayah.

“Prestasimu di bidang seni lukis dan seni sastra, Ayah kira,” jawab Ayah.

“Apakah pendapat Ayah itu tidak sekadar untuk menyenangkan hati Emir?”

“Pendapat Ayah disertai bukti, yakni prestasimu itu sendiri, Sayangku!”

Maka, Emir hakkul yakin, dia telah menemukan kelebihan di dalam dirinya, yakni bakat seni rupa dan seni sastra. Selanjutnya, bakat itu dia asah terus, dan dia latih tanpa henti agar menjadi besar dan terus besar. Namun, prestasi yang telah dicapainya tidak menjadikan dia besar kepala atau congkak. Justru, dia semakin rendah hati, dan semakin senang merenung dan bertualang mencari sesuatu yang baru.
***
Suatu hari, dalam pengembaraannya di Sumatera Selatan, di kabupaten Tanjung Enim, Emir menemukan air terjun kecil. Di bawah air terjun kecil itu tampak batu-batu cadas raksasa yang kukuh dan keras. Tetapi, setelah bertahun-tahun, air terjun kecil itu jatuh dan jatuh terus-menerus menimpa batu-batu raksasa Cadas yang keras dan tegar itu, akhirnya batu-batu itu berlubang. Air terjun kecil itu berhasil membuat lubang pada batu cadas yang keras itu. Menyaksikan kejadian alamiah itu, Emir lama merenung.

“Apa yang Anak temukann di air terjun kecil ini?” Seseorang bertanya kepada Emir.

“Kakek ini siapa?” Emir bertanya dalam keterkejutannya.

“Namaku Kurun,” jawab si kakek berjenggot putih. “Aku menjaga kebun kopi di lembah sana!” Si Kakek menunjuk ke lembah.

“0h, Kakek memiliki kebun kopi yang luas sekali!” puji Emir.

“Bukan milikku, Nak. Em, siapa namamu?”.

“Emiriana. Sehari-hari, aku disapa Emir, Kek. Eh, em, jadi itu kebun kopi siapa?”

“0rang kota menyuruhku menjaganya.”

“0h, Kakek dipercaya, ya?”

“Ya, Nak. Kepercayaan itu bagi Kakek sangat mahal.”

Si Kakek beruban, berjenggot putih, dan bertongkat memuji keberanian Emir menjelajah. Katanya, sangat langka seorang gadis berani mengembara seorang diri dan berpakaian seperti busana lelaki pula.

“Jadi apa yang Anak cari?” tanya Si Kakek pula.

“Aku mencari pengalaman baru dan pengetahuan baru karena aku merasa miskin di kedua hal itu,” jawab Emir sejujurnya.

“Bagus!” ujar Si Kakek sambil menunjukkan kedua jari jempol tangannya.

Ketika Si Kakek kembali ke kebun kopi yang dijaganya, sadarlah Emir. Hari libur tinggal dua hari lagi. Maka segera dia berkemas untuk menuju Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Pagi-pagi sekali dia akan terbang ke Jakarta karena lusa, sekolah sudah dimulai lagi.
***
Tiba di sekolah, Emir dikerubungi teman-temannya. Banyak pertanyaan diajukan kepadanya. Apa jawab Emir?

“Tunggu jawabannya dalam buku pertamaku yang akan terbit,” jawabnya sambil tersenyum.

“Buku apa, sih?” desak Dini.

“Lihat saja nanti…,” kata Emiriana sambil tersenyum..




K.usman



Mirza Buncis

Sebenarnya Jaya menunggu reaksi keras lagi kasar dari Mirza dengan jawabannya. Tapi ini lain, Mirza membisu. Menatapnya tenang seperti laut tanpa ombak. Akhir dari tatapan itu, dia tersenyum. Senyum yang tak bisa Jaya mengerti.

Hujan pertama akhirnya jatuh pada November, setelah terserang gersang yang hampir saja meretakkan bumi. Bukannya menjadi anugerah buat Yani, tapi sebaliknya, membawa bencana. Dan semua itu karena ulah Mirza, Kawazaki Ninja-nya yang meraung masuk halaman sekolah, melaju seolah di jalanan umum. Genangan air yang kebetulan sejajar dengan posisi langkah Yani, digilas ban dengan sengaja, hingga air keruhnya terpercik ke seragam Yani.
Yani ingin berteriak, mencaci, menyumpahi, bahkan melemparnya dengan batu yang kebetulan tergeletak di dekatnya, tapi Yani merasa itu percuma. Di pihak Mirza, bukannya menghentikan motor lalu minta maaf, malah berbalik dan mengedipkan mata kiri ke arah Yani. Kedipan yang mengejek lagi sinis.
Bukan hanya di mata Yani, hampir semua penghuni sekolah, utamanya cewek, menangkap sosok Mirza sebagai cowok kurang ajar. Mungkin lebih tepat lagi disebut bejat. Penampilannya saja sudah urakan, telinga dan hidung ditindik, rambut dicat pirang, ujung kemeja tak pernah masuk dalam celana, bahkan jarang dikancing, hingga otot-ototnya yang kekar nampak jelas terbalut kaos ketat. Melihat penampilan seperti itu di mal, mungkin wajar-wajar saja, tapi ini di sekolah. Meski statusnya sekolah swasta, ini tempat orang-orang yang ingin dididik.
Namun swasta-nya itulah yang membuat Mirza bisa berbuat seenak perut. Papanya adalah pemilik yayasan sekolah ini, jadi guru pun tak berani “memberinya pelajaran” jika dia benar-benar telah kurang ajar. Mirza pun semakin mengannggap dirinya sebagai “tuhan”.

Mirza punya banyak massa cowok, yang tentu saja teman sesama urakan, hingga di kantin sekolah pun tak sungkan ngomong vulgar, lalu tertawa terbahak-bahak hingga langit-langitnya kelihatan. Pokoknya, semua yang ada pada Mirza, membuat Yani dan cewek lain harus rela menerima sakit hati tanpa bisa membalasnya.
“Cewek-cewek di sekolah ini nggak ada yang selevel denganku. Mereka adalah Ninox sentulata malaccensis. Itu nama Latin untuk pungguk. Elang malam yang suka memandang bulan. Kalau bukan bulan yang jatuh untukmu, jangan harap Mirza jadi milikmu,” ungkapnya sombong saat keputusannya untuk menjomblo dipertanyakan.
Memang sih, Mirza cakep. Dari matanya yang tajam, selintas dia seperti blasteran India. Belum lagi, tahu matanya begitu memukau orang yang melihatnya, terkadang dia menghiasinya dengan celak, hingga bola mata itu semakin manyala. Belum lagi bibirnya yang terukir sempurna, dan merah alaminya melebihi cewek berlipstik. Ya, tak ada yang kurang pada diri Mirza, kecuali kekurangajarannya.
Ada lagi tentang kesempurnaan Mirza, tubuh atletisnya begitu memukau saat terbawa langkah. Melenggang seperti di atas sebuah cat walk, mungkin karena dia merasa selalu jadi bahan perhatian, hingga langkah pun harus sesempurna mungkin. Sosok Mirza jauh lebih sempurna dibanding dengan model ataupun bintang sinetron yang sering membuat ABG screaming.
“Kenapa dengan seragammu?”
Yani, yang menerima pertanyaan Jaya, ingin menyembunyikan kejadian yang sebenarnya, tapi kegugupannya membuat Jaya menuduh Mirza sebagai pelakunya.
“Ini ulah Mirza, kan?”
“Nggak usah diambil hati, Jay!”
“Tapi ini bukan yang pertama kalinya, Yan. Ini pelecehan buatku sebagai pacar kamu.”
“Tapi diladenin malah tambah ruwet. Kamu mau dikeluarin sekolah gara-gara berurusan dengan dia.”
“Kamu nggak ngerti perasaan cowok, Yan. Lalu apa gunanya kamu jadi pacar aku, kalau aku terus-terusan membiarkan orang mempermainkan kamu, nyakitin kamu.”
Jaya sudah berlalu dari hadapan Yani, untuk mencari Mirza dan membuat perhitungan, tapi Yani kembali berhasil mencegatnya. Tanpa sadar, Yani mencengkeram pergelangan Jaya keras.

“Kumohon, Jay! Jangan layani emosi kamu. Aku tahu kamu mencintai aku, ingin melindungi aku... tapi mengalah di depan Mirza, jauh lebih kuhargai. Semua orang kenal Mirza. Dia itu kasar, keras hati, kurang ajar, bejat…”
“Dan dia akan terus begitu, jika nggak diberi pelajaran…”
“Melawan orang yang keras hati seperti dia, sama halnya ikut menjadi budak nafsu.”
Jaya terdiam. Bukan karena emosinya telah reda, tapi karena tak tega melihat Yani memelas di depannya. Dia tetap menyimpan dendamnya untuk Mirza. Dendam itu mengepul dalam kawah hatinya, dan suatu saat akan diletuskannya di depan Mirza.
***
Jaya sengaja terlambat masuk kantin. Dia tahu kebiasaan Mirza dan teman geng-nya yang selalu terlambat masuk kelas dengan nongkrong di kantin. Jaya juga melakukan itu, dia tak perduli, bel yang barusan berbunyi menandakan dia harus duduk manis di kelas untuk menerima pelajaran Kimia kesukaannya.
Dia mengambil posisi tepat bersebelahan meja dengan Mirza dan teman geng-nya.
“Bakso tanpa mie, minumnya es teh.” Pesan Jaya tanpa memperdulikan bagaimana reaksi Mirza yang tak jauh darinya.
Sementara Mirza sendiri, tak mampu menahan keheranannya, melihat sikap Jaya hari ini. Dia tahu betul, Jaya paling tak suka masuk kelas terlambat. Sebagai ketua kelas, dia bahkan menyiapkan semua perlengkapan kelas, mulai dari spidol, penghapus, hingga papan tulis yang harus bersih sebelum guru masuk.
Mirza juga sangat kenal, Jaya orangnya bersih dan selalu berpenampilan rapi. Model rambut yang selalu cepak, seolah agar terhindar dari tiupan angin yang bisa saja mengacak-acak rambut. Tapi kali ini, Jaya masuk kantin dengan ujung kemeja yang keluar dari celana, juga dengan dua kancing atas yang dibiarkan menelanjangi dadanya.
Sebenarnya hingga hal-hal terkecil tentang Jaya pun, Mirza tahu semua. Tentang bibir tak tebal Jaya yang selalu mengukir senyum manis untuk semua orang, kecuali untuk Mirza. Juga tentang tutur kata Jaya yang selalu sopan.
Ketika Mirza meneguk teh es-nya, sambil melirik ke arah Mirza, barulah dia terjaga, selama ini dia selalu mengusili Yani, pacar Jaya. Mirza mengatur napas setelah menyadari hal itu, tapi bukan berarti takut. Tubuh atletisnya tak hanya terbentuk di fitness centre, tapi juga di perguruan bela diri karate yang digelutinya. Jadi sangatlah mustahil untuk takut pada Jaya.

Entah apa maksudnya, Mirza malah mengedipkan mata ke arah teman geng-nya yang lain, sebagai isyarat agar mereka meninggalkan kantin. Dan kini tinggallah mereka berdua, pemilik kantin pun sibuk mengurus dapur, setelah kebanjiran pelanggan di jam istirahat barusan.
“Apa maksud kamu mengusili dan mengerjai Yani terus-terusan?” Jaya berucap tanpa mengalihkan tatapan ke arah Mirza di meja sebelah, karena dia yakin Mirza sedang memperhatikannya.
“Atau perlu kuberi tahu dengan caraku sendiri bahwa Yani itu pacarku. Dan sebagai cowoknya, tentu aku sangat merasa tersinggung jika ada yang macam-macam ke dia.”
Kali ini Jaya sudah berbalik untuk mengarahkan tatapan ke arah Mirza, dan Mirza telah melangkah ke mejanya. Di bangku tepat depannya.
Untuk yang pertama kalinya, Jaya tak menangkap sinyal antagonis pada sikap dan tatapan Mirza.
“Aku menganggu Yani, karena kutahu dia pacar kamu. Ini yang aku inginkan, kamu datang padaku, bicara baik-baik dan mengutarakan apa maumu.”
“Mauku? Jangan ganggu Yani lagi!”
“Dengan satu syarat…”
“Yani siapamu hingga kamu memberiku syarat untuk menjaganya?”
Jaya menggeser bakso pesanannya dari hadapannya, yang memang belum pernah disentuhnya. Dia ingin, antara dia dan Mirza, tak ada yang menghalanginya, kecuali terpisah oleh meja persegi yang mereka hadapi.
“Jadi kamu nggak mau mendengar syaratku?”
Jaya terdiam, emosi yang mengendap di kawah hatinya, sudah naik ke ubun-ubun. Sedikit Mirza salah bicara, atau bertingkah salah di depannya, emosi itu akan mengeluarkan lava.
“Aku ingin kamu bergabung denganku…”
“Maksudmu, menjadi pengacau sekolah, tukang onar? Mirza, sadar nggak sih? Selain kamu, nggak ada yang bangga atas sikap kasarmu itu. Lagi pula, apa yang kamu cari? Kekurangajaranmu malah membuat orang nggak ada yang mau berteman dengan kamu.”
“Kamu mau apa nggak bergabung denganku?!” kata Mirza lebih keras.
“Nggak!” Jaya lebih keras lagi.
Sebenarnya Jaya menunggu reaksi keras lagi kasar dari Mirza dengan jawabannya. Tapi ini lain, Mirza membisu. Menatapnya tenang seperti laut tanpa ombak. Akhir dari tatapan itu, dia tersenyum. Senyum yang tak bisa Jaya mengerti.

“Kamu orang yang pertama menolak ajakanku untuk berteman.”
“Bukan cuma aku, semua orang di sekolah ini sesungguhnya akan menjadi teman kamu jika kamu nggak kurang ajar seperti yang selama ini kamu sikapkan.”
Menurut Jaya, kalimat yang baru saja diucapkannya sangatlah sederhana. Tapi siapa sangka, hati keras Mirza tiba-tiba luluh, mencair. Bahkan, tanpa segan, tanpa takut harga dirinya jatuh, dia meraih tangan Jaya dan menggenggamnya.
“Maafkan aku, aku ingin jadi temanmu!” ucapnya dengan tatapan yang masih saja menguasai seluruh wajah Jaya.
Jaya mengangguk. Perlahan dia lepaskan tangannya dari genggaman Mirza. Dia membalas senyum Mirza, lalu melangkah pergi.
“Kita temanan, kan?”
Langkah Jaya terhenti. Tanpa berbalik dia mengangguk. Lagi-lagi langkahnya tak bisa dia lanjutkan saat Mirza meraih pergelangannya dan memasangkan dua kancing baju Jaya yang terlepas. Jaya mengikut, saat Mirza dengan tenangnya, tanpa dosa. merangkul bahu Jaya melangkah keluar kantin.
Semua terperangah, ketika Mirza masuk kelas dengan tangannya yang masih di bahu Jaya. Ini adalah pemandangan terindah, seperti pertemuan siang dan malam, di suatu waktu yang disebut senja. Mirza adalah siang dengan panasnya yang menyengat, dan Jaya adalah malam dengan dinginnya yang menyelimut. Keduanya tiba-tiba saling membutuhkan.
***
Tiba di rumah, Mirza langsung masuk kamar. Melepas giwang di tindikan telinga dan hidungnya. Dia menatap wajahnya di cermin. Dia sangat benci pada matanya, pada bibirnya, pada kulit putih bersihnya.
Praaak! Semua body lotion, lotion pemutih, pembersih wajah anti acne, deodoran, bedak cowok, hingga celak dan pelembab bibir, dihimpunnya dengan kasar lalu dilemparkannya ke cermin yang tengah ditatapnya.
Baju karate dengan sabuk hitamnya, beserta piala-piala penghargannya, hingga barbel dengan segala ukuran, dan semua peralatan fitness, dia lemparkan keluar hingga memecahkan kaca jendela.

Dia benci pada dirinya, sangat benci. Selama ini kesibukannya di tempat fitness, kepiawaiannya di olahraga bela diri, hanyalah untuk menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya. Beralasan menganggap semua cewek pungguk di matanya, padahal hatinya memang tak pernah tersentuh oleh tatapan cewek mana pun. Bergaya ala cowok dengan telinga dan hidung ditindik, sampai bersikap kasar dan kurang ajar, semua agar dia menjadi lelaki yang sesungguhnya. Tapi sungguh, sungguh tak bisa dia mengingkari hatinya yang kagum pada Jaya, telah setara dengan perasaan cinta.
“Mirza banci!” teriak hatinya sekeras mungkin saat dia semakin ingin terus ada di dekat Jaya.
Dia tahu, itu adalah hal yang sangat mustahil bahkan sangat memalukan jika Jaya atau ada orang lain tahu perasaannya. Dia tak ingin cinta seperti itu, tapi itulah yang selalu datang bertamu di hatinya.
Dia menangis sendiri. Sementara Jaya yang dirindukannya tertawa geli, bahkan terbahak-bahak.
“Kurasakan ada yang lain pada Mirza saat dia menggenggam tanganku, menggadeng bahuku,” ceritanya pada Yani.
“Maksudmu?”
“Mirza itu buncis.”
“Buncis?”
“Kamu kenal buncis, kan? Nama latinnya phaseolus vulgaris, sejenis kacang-kacangan, tapi nggak ada orang yang menyebutnya kacang buncis. Beda dengan kacang kedelai, kacang merah, kacang panjang…”
Yani masih mengerutkan kening.
“Mirza itu cowok, tapi nggak pantas disebut cowok. Karena dia banci! Sikap kasarnya, tubuh atletisnya, hingga kebiasaannya bercerita vulgar, hanyalah untuk menipu semua orang buat menunjukkan bahwa dia cowok sejati. Padahal, cowok nggak harus identik dengan semua itu. Cowok juga punya hati, tapi bukan hati yang suka sejenis seperti Mirza.” Jaya terbahak-bahak lagi.
Yani tetap terdiam. Yani bahkan kasihan membayangkan konflik batin yang menyiksa Mirza. Yani tahu, itu bukan inginnya, melainkan sebuah cerita takdir, yang jika dia ingin mengubahnya, masih akan ada kesempatan menemukan happy ending.
Air mata pertama Mirza, akhirnya jatuh pada November. Inilah yang pertama kalinya dia menangisi ketidaksempurnaannya, setelah terserang gersang yang hampir saja meretakkan bumi hatinya, karena selalu dipaksakannya untuk menjadi sosok yang bukan dirinya.






S.G.M

Spider





KLIK-KLIK & GESER MOUSE SUKA-SUKA LOE!

Piaraan Si DO'I


KLIK-KLIK & DRAG-DRAG SUKA-SUKA LOE!

Ajak MaiN si Fraz70nY37 yuk!


KLIK-KLIK & DRAG-DRAG SUKA-SUKA LOE!

Ngedate I

Guys...Do'i Libur hari ini dan rencananya dia mau main ke tempat gue,kira-kira apa ya yang harus gue siapin buat dia..??? akhhh...bingung juga..!!!,mau nyiapin makan, kan lagi puasa..??? terus apa donk..???

Pagi-pagi gue udah mandi, udah wangi terus gue beresin kamar pokoknya udah rapih deh tinggal nungguin dia.

Sun,14 Augst 2011 08:00 WIB
Do'i datang dengan senyuman manis dibibirnya :) lalu dia duduk sejenak mungkin kecapean habis jalan dari halte ke tempat gue."aa,hari ini kita mau kemana nih...???" tanya dia "terserah kamu aja ay!!" jawab gue!keliatannya do'i gak puas dengan jawaban gue keliatan dari mukanya langsung cemberut Bete gitu..lalu gue ajak shoping deh baru tuh muka yang bete mendadak Sumringah en keliahatannya do'i seneng tuh...

Sun,14 Augst 2011 08:30 WIB
"a, sebelum jalan ke mall mau gak anterin neng ke taman tempat pertama kali aa bawa neng sebelum jadian!!" pintanya "kok tumben..,emang kenapa tiba-tiba ngajak ke tempat itu..?" "neng kangen a,pengen lewat bentar,,,aja ya? mau ya a...???" rengeknya "iya sayang, jangankan lewat, kalo kamu pengen lama juga aa temenin kok!!" "nggak kok a sebentar aja kan mau jalan ke mall?? hehehe..." "okelah kalo begitu..." jawab gue!

Sun,14 Augst 2011 08:45 WIB
"wahh...ternyata gak ada yang berubah ya a dari dulu...???" kenang dia "iya ay, masih seperti yang dulu..!" "gimana.mau duduk dulu atau langsung balik lagi...???"tawar gue,"Pulang aja a,neng kan cuma pengen lewat aja!" kita pun pulang ke tempat gue.

Sun,14 Augst 2011 09:00 WIB
Setelah sampai di tempat gue,do'i n gue langsung capcus meluncur ke mall buat lihat-lihat baju,buku,dan lainnya.gila penuh banget maklum sekarang kan hari minggu pastinya banyak orang yang belanja.

Sun,14 Augst 2011 13:00 WIB
Huh...gak terasa waktu udah jam 13:00WIB lagi,4 jam kita muter-muter mall capek banget mana hari ini lagi puasa terus hawanya puuuuaaaannnaaaaassssss...banget!!! bawaannya haus hihihihii....!!! abis nyampe ke kostan kita ngitungin apa saja yang kita beli hari ini dan ternyata wow..kita boros banget hari ini!!! itu pun belum termasuk dinner (buka Puasa).

Sun,14 Augst 2011 14:30 WIB
Tidak lama kita kembali pergi ke mall untuk mengambil barang yang kita pesan sebelumnya karena tadi harus nunggu sekitar 3 Jam daripada harus nunggu di mall, jadi kita tadi putuskan untuk nunggu dikostsan gue aja!

Sun,14 Augst 2011 14:45 WIB
Sip..barang yang kita tunggu akhirnya udah ada terus selanjutnya kita pergi ke tempat potong rambut langganan gue ternyata pas udah nyampe di sana tempatnya penuh harus nunggu 5 orang dulu baru habis itu gue!yah...lama juga takutnya nanti keburu buka jadi gue Cancel deh ... pulang dengan bibir manyun deh...hohohohoo....

Sun,14 Augst 2011 15:35 WIB
Pas di perjalanan mau pulang tiba-tiba si Ijo (Mio Hijau) motor gue mesinnya mati pas lampu merah lagi dan parahnya lagi tempat gue tuh udah deket dari situ tapi sayang motor gue mati sebelum tempat tujuan!!! tambah manyun deh neh bibir huhuhuhuu....gue bingung mau ngapain? mau nyari pom bensin,kejauhan gue SMS aja temen gue dengan harapan dia mau berbagi bensin motornya buat gue!

Sun,14 Augst 2011 16:05 WIB
Akh...ternyata temen gue gak bisa bantu,karena motornya lagi di pake orang lain! ya udah akhirnya gue goyang-goyang aja tuh motor dengan harapan ada sisa-sisa bensin yang masih tersisa dan Alhamdulillah mau hidup juga tuh motor...gak lama gue nemu yang jualan bensin eceran,sebenernya gue ogah beli bensin eceran tapi keadaan darurat mau di pake berangkat kerja esoknya, akhirnya gue beli juga 1 liter lumayan buat ganjel besok sampe Pom Bensin hehehee...

Sun,14 Augst 2011 17:55 WIB
Allohuakbar...Allohuakbar....Alhamdulillah suara adzan udah berkumandang itu tandanya kita saatnya buka puasa,Kita udah nyiapin sirup sama makanan kecil yang kita beli tadi siang tapi ada masalah saat kita mau makan mie gelas,aku minta tolong do'i buat ambilin air panas dari disfenser tapi si do'i ngelamain terus gue tegur lagi dengan nada agak tinggi "ay, mana air panasnya ikh..???lapar nih..!!" si do'i turun ngambil air panasnya tapi pas saat dia balik bawa air panas dia langsung manyun dan marah-marah! "a,neng tuh gak suka di bentak-bentak!!" "lagian kamu sih yang mulai!" jawab gue "ya tapi ga harus ngebentak kan a??!! neng males kalo udah diperlakukan kayak gini!!!" potongnya!

Suasana makin panas aja,gue milih diem aja deh biar gak tambah makin panas lagi!akhirnya dari pada bete gue makan aja mie gelasnya punya gue udah abis tinggal punya dia dari pada nganggur gue sikat aja mie gelasnya! "ehhh...mie gelas punya neng jangan di makan!!!" katanya, "kalo mau ngambek,ngambek aja dulu sampe kenyang jangan makan mie gelas dulu!" jawab gue! "eh..tapi itu mie gelas punya neng!! dongdong ikh!!!" tambahnya lagi.ya ujungnya malah becanda dari yang tadinya yang lagi berantem malah ketawa-ketawa dan itu satu hal yang bikin kita selalu kuat ngejalanin hubungan ini, yaitu selalu ada canda di sela pertengkaran kita!!!tapi kita tetep aja diem-dieman sampai Adzan Isya berkumandang...hhmmmm...

Sun,14 Augst 2011 18:05 WIB
"Neng,maafin aa ya kalo aa udah kasar sama neng!" pintaku dengan muka melas "iya aa neng juga minta maaf,asal aa tau ya neng bisa lebih kasar,bisa lebih marah dari aa!!!" jawabnya! dalam hati gue bilang "gila .. pacar gue galak sadis amat hihihihi...tapi gak apa-apa yang penting kita udah baikkan! terus kita sama-sama berangkat ke mesjid buat sholat tarawih..."

Sun,14 Augst 2011 20:35 WIB
kita udah selesai Sholat tarawih dan sekarang waktunya cari makan malam karena tadi sebelum tarawih kita gak sempet makan gara-gara berantem! "Yank, kita mau makan apa sekarang nih...??" tanya gue. "aa, neng pengen bebek Goreng...!!!!" pintanya, "ya udah ayo kita kemon!!!" kata gue. kita jalan ke tempat bebek goreng langganan kita tapi sayang bebeknya udah abis dan si do'i masih penasaran sama bebek gorengnya akhirnya kita muter-muter deh nyari tempat bebek goreng lain.

Sun,14 Augst 2011 21:35 WIB
jam udah nunjukkin setengah sepuluh malam udah saatnya do'i kembali ke habitatnya and gue anterin do'i ke alamnya (hahaha..loe pikir do'i gue mahkluk halus!!!?) emang sih do'i kan cewek yang lemah lembut jadi halus hehehee....gak nyambung kaleeee.....!!!!!

Sun,14 Augst 2011 22:15 WIB
Huh...tugas gue udah selesai Do'i udah gue anterin ke rumahnya! capek banget hari ini tapi gue seneng banget bisa jalan sama dia ...udah akh gue ngantuk gue tidur dulu ya... see u tomorrow...

The love one hundred days(Love Story)

Today at 11:56am

Arie dan Cindy sedang duduk bersama di taman kampus tanpa melakukan apapun,hanya memandang langit, sementara sahabat-sahabat mereka sedang asik bercanda ria dengan kekasih mereka masing-masing.

Cindy: "Duh bosen banget! Aku harap aku juga punya pacar yang bisa berbagi waktu denganku."

Arie: "Kayaknya cuma tinggal kita berdua deh yang jomblo. cuma kita berdua saja yang tidak punya pasangan sekarang."
(keduanya mengeluh dan berdiam beberapa saat)

Cindy: "Kayaknya aku ada ide bagus deh. kita adakan permainan yuk?"
Arie: "Eh? permainan apaan?"

Cindy: "Eng... gampang sih permainannya. Kamu jadi pacarku dan aku jadi
pacarmu tapi hanya untuk 100 hari saja. gimana menurutmu?"

Arie: "Baiklah.... lagian aku juga gada rencana apa-apa untuk beberapa bulan
ke depan."

Cindy: "Kok kayaknya kamu gak terlalu niat ya... semangat dong! hari ini akan
jadi hari pertama kita kencan. Mau jalan-jalan kemana nih?"

Arie: "Gimana kalo kita nonton saja? Kalo gak salah film The Troy lagi maen
deh. katanya film itu bagus"

Cindy: "OK dech.... Yuk kita pergi sekarang. tar pulang nonton kita ke
karaoke ya...
ajak aja adik kamu sama pacarnya biar seru."

Arie : "Boleh juga..."
(mereka pun pergi nonton, berkaraoke dan Arie mengantarkan Cindy pulang
malam harinya)

Hari ke 2:
Arie dan Cindy menghabiskan waktu untuk ngobrol dan bercanda di kafe,
suasana kafe yang remang-remang dan alunan musik yang syahdu membawa hati
mereka pada situasi yang romantis. Sebelum pulang Arie membeli sebuah
kalung perak berliontin bintang untuk Cindy.

Hari ke 3:
Mereka pergi ke pusat perbelanjaan untuk mencari kado untuk seorang sahabat
Arie.
Setelah lelah berkeliling pusat perbelanjaan, mereka memutuskan membeli
sebuah miniatur mobil mini. Setelah itu mereka beristirahat duduk di
foodcourt, makan satu potong kue dan satu gelas jus berdua dan mulai
berpegangan tangan untuk pertama kalinya.

Hari ke 7:
Bermain bowling dengan teman-teman Arie. Tangan Cindy terasa sakit karena
tidak pernah bermain bowling sebelumnya. Arie memijit-mijit tangan Cindy
dengan lembut.

Hari ke 25:
Arie mengajak Cindy makan malam di Ancol Bay . Bulan sudah menampakan diri,
langit yang cerah menghamparkan ribuan bintang dalam pelukannya. Mereka
duduk menunggu makanan, sambil menikmati suara desir angin berpadu dengan
suara gelombang bergulung di pantai. Sekali lagi Cindy memandang langit, dan
melihat bintang jatuh. Dia mengucapkan suatu permintaan dalam hatinya.

Hari ke 41:
Arie berulang tahun. Cindy membuatkan kue ulang tahun untuk Arie. Bukan
kue buatannya yang pertama, tapi kasih sayang yang mulai timbul dalam
hatinya membuat kue buatannya itu menjadi yang terbaik. Arie terharu
menerima kue itu, dan dia mengucapkan suatu harapan saat meniup lilin ulang
tahunnya.

Hari ke 67:
Menghabiskan waktu di Dufan. Naik halilintar, makan es krim bersama,dan
mengunjungi stand permainan. Arie menghadiahkan sebuah boneka teddy bear
untuk Cindy, dan Cindy membelikan sebuah pulpen untuk Arie.

Hari ke 72:
Pergi Ke PRJ. Melihat meriahnya pameran lampion dari negeri China.. Cindy
penasaran untuk mengunjungi salah satu tenda peramal. Sang peramal hanya
mengatakan "Hargai waktumu bersamanya mulai sekarang", kemudian peramal itu
meneteskan air mata.

Hari ke 84:
Arie mengusulkan agar mereka refreshing ke pantai. Pantai Anyer sangat sepi
karena bukan waktunya liburan bagi orang lain. Mereka melepaskan sandal dan
berjalan sepanjang pantai sambil berpegangan tangan, merasakan lembutnya
pasir dan dinginnya air laut menghempas kaki mereka. Matahari terbenam, dan
mereka berpelukan seakan tidak ingin berpisah lagi.

Hari ke 99:
Arie memutuskan agar mereka menjalani hari ini dengan santai dan sederhana.
Mereka berkeliling kota dan akhirnya duduk di sebuah taman kota.


15:20 pm
Cindy: "Aku haus.. Istirahat dulu yuk sebentar."
Arie: "Tunggu disini, aku beli minuman dulu. Aku mau teh botol saja. Kamu
mau minum apa?"
Cindy: "Aku saja yang beli. kamu kan capek sudah menyetir keliling kota hari
ini. Sebentar ya"
Arie mengangguk. kakinya memang pegal sekali karena dimana-mana Jakarta
selalu macet.



15:30 pm
Arie sudah menunggu selama 10 menit and Cindy belum kembali juga.
Tiba-tiba seseorang yang tak dikenal berlari menghampirinya dengan wajah
panik.
Arie : "Ada apa pak?"
Orang asing: "Ada seorang perempuan ditabrak mobil. Kayaknya perempuan itu
adalah temanmu"
Arie segera berlari bersama dengan orang asing itu.
Disana, di atas aspal yang panas terjemur terik matahari siang,tergeletak
tubuh Cindy bersimbah darah, masih memegang botol minumannya.
Arie segera melarikan mobilnya membawa Cindy ke rumah sakit terdekat.
Arie duduk diluar ruang gawat darurat selama 8 jam 10 menit.
Seorang dokter keluar dengan wajah penuh penyesalan.


23:53 pm
Dokter: "Maaf, tapi kami sudah mencoba melakukan yang terbaik. Dia masih
bernafas sekarang tapi Yang kuasa akan segera menjemput. Kami menemukan
surat ini dalam kantung bajunya."
Dokter memberikan surat yang terkena percikan darah kepada Arie dan dia
segera masuk ke dalam kamar rawat untuk melihat Cindy. Wajahnya pucat tetapi
terlihat damai.
Arie duduk disamping pembaringan Cindy dan menggenggam tangan Cindy dengan
erat.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Arie merasakan torehan luka yang sangat
dalam di hatinya.
Butiran air mata mengalir dari kedua belah matanya.
Kemudian dia mulai membaca surat yang telah ditulis Cindy untuknya.


Dear Arie...
ke 100 hari kita sudah hampir berakhir.
Aku menikmati hari-hari yang kulalui bersamamu.
Walaupun kadang-kadang kamu jutek dan tidak bisa ditebak,
tapi semua hal ini telah membawa kebahagiaan dalam hidupku.
Aku sudah menyadari bahwa kau adalah pria yang berharga dalam hidupku.
Aku menyesal tidak pernah berusaha untuk mengenalmu lebih dalam lagi
sebelumnya.
Sekarang aku tidak meminta apa-apa, hanya berharap kita bisa memperpanjang
hari-hari kebersamaan kita. Sama seperti yang kuucapkan pada bintang jatuh
malam itu di pantai,
Aku ingin kau menjadi cinta sejati dalam hidupku. Aku ingin menjadi
kekasihmu selamanya dan berharap kau juga bisa berada disisiku seumur
hidupku. Arie, aku sangat sayang padamu.

23:58
Arie: "Cindy, apakah kau tahu harapan apa yang kuucapkan dalam hati saat
meniup lilin ulang tahunku?
Aku pun berdoa agar Tuhan mengijinkan kita bersama-sama selamanya..
Cindy, kau tidak bisa meninggalkanku! hari yang kita lalui baru berjumlah 99
hari!
Kamu harus bangun dan kita akan melewati puluhan ribu hari bersama-sama!
Aku juga sayang padamu, Cindy. Jangan tinggalkan aku, jangan biarkan aku
kesepian!
Cindy, Aku sayang kamu...!"

Jam dinding berdentang 12 kali.... jantung Cindy berhenti berdetak.
Hari itu adalah hari ke 100...

NB:
Katakan perasaanmu pada orang yang kau sayangi sebelum terlambat.
Pacarmu? temanmu? smua org yang kamu sayang..
Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok.
Kau tidak akan pernah tahu siapa yang akan meninggalkanmu dan tidak akan pernah kembali lagi.



The end...

Bunga Kenangan

Siang itu sebuah awan gelap menutupi sinar mentari yang ingin berbagi keceriaanya.Terlihat di ujung pandangan seorang lelaki yang menyendiri dan menulis di kertas kecilnya. Sebut saja nama lelaki itu adalah abi...


Pencil yang berwarna biru menari-menari diatas kertas kosong dan menghasilkan gambar sesosok wanita yang cantik, disebelah gambar itu tertulis nama "andin". Ketika abi sedang asyiknya melukiskan apa yang dirasakannya, tiba-tiba seorang teman datang menghampirinya, "lagi apa lo sob?", tanya seorang teman yang bernama rudi. Tapi abi tak menjawab dan hanya menggerakkan jadinya diatas kertas itu. Rudi bingung melihat sobatnya tak seperti biasanya. "Kenapa lo?", tanya rudi lagi. Dari diam seribu bahasa, akhirnya abi menjawab pertanyaan rudi dengan kata-kata yang sangat singkat, "ga ada apa-apa sob". Mendengar jawaban dari abi, rudi langsung terdiam dan mencoba untuk mencari tahu apa yang di pikirkan oleh abi, dia pun lalu melihat sebuah kertas kecil milik abi, "ou jadi si andin yang buat lo kaya' gini". Abi lalu melihat ke arah rudi, "bukan-bukan dia, tapi gua sendiri yang buat gua kaya' gini", jawab abi.

Hari semakin gelap, perhalan rintik-rintik air kecil jatuh ke bumi dan membasahi tanah dan rerumputan yang sudah mengering. Tak ada satupun orang yang terlihat di halaman kampus itu, tapi masih terdengar suara riuh dan ramai di dalam ruangan-ruangannya. Terlebih lagi sebuah ruangan yang menjadi markas dari anak-anak pecinta alam. "Haahaahahaha...jadi si cupu itu nembak lo andin? ga nyadar diri apa dia!!!", "Hus lo jangan ngomong gitu donk Lus, ntar si andin ngambek lagi gebetannya dihina huahauahua!!!". Begitu kata-kata teman andin kepada andin yang bernama ratih dan lusi, begitu bahagianya mereka menghina sahabat mereka sendiri, yaitu andin. Andin kemudian menjawab kata-kata mereka, "Pd bener tuh si cupu!!!, ga ngaca dia!!!", jawab andin. Wah ternyata andin juga tak jauh berbeda dengan teman-temannya. Memang siapa yang mereka katakan cupu?, mungkin itu yang kita pikirkan, tiba-tiba mereka berkata lagi "eh lihat tuh si cupu datang!!!", kata teman-teman andin ketika melihat abi menghampiri andin. Ou jadi abi yang mereka maksud dengan sicupu!!!.

"Andin aku butuh ngomong ama kamu, aku mau kamu...", kata abi dengan sopan kepada andin. Tapi andin malah memotong perkataan abi dengan sombongnya "mau apa lo kesini, lo tu buat malu gua tahu ga!!!, ga ngaca apa lo!!! tampang lo mines kaya gitu!!!". Abi terkejut mendengar perkataan andin, dan lalu menjawab kata-kata yang sangat menyakitkan dari andin, "aku tahu mungkin aku ga pantas buat kamu, tapi kamu harus tahu, kalau aku sangat menyaangi kamu, lebih daripada sayangku kepada diriku sendiri". "Haahahahaha....!!! sok pujangga lo!!!, yuk ah ndin kita pergi aja, daripada ngedengar omongan sicupu ini!!!", kata lusi. Mereka lalu pergi meninggalkan abi yang hanya terdiam dengan sebuah kertas yang telah digambarnya berada di tanggannya.

Malam itu keheningan dan sepi dirasakan oleh abi, tak ada seorang pun yang mengerti apa dirasakannya, termasuk nyanyian jangkrik yang seakan menghina dirinya seperti yang dilakukan andin dan teman-temannya. Hanya cahaya rembulan yang redup mencoba untuk menghibur kesunyian abi, sinarnya seakan membatu abi menulis di kertas kecilnya. Ya memang abi selalu mencurahkan isi hatinya pada sebuah kertas kecil itu, seakan hanya kertas itulah tempatnya berbagi.

Esok hari mentari begitu cerahnya menerangi angkasa, suasana terlihat begitu bahagianya di kampus itu, tapi tidak dengan abi yang selalu terdiam sendiri semenjak dia menyatakan perasaannya kepada andin. Namun abi tak seakan tak pernah putus asa, dia lalu mendatangi andin lagi. Perlahan ia melangkahkan kakinya untuk menemui seorang yang sangat dicintainya, matanya seakan terus mencari dan melihat keberadaan andin, hingga akhirnya ia melihat andin sedang bercanda gurau dengan teman-temannya.

"Hai ndin,...maaf aku nganggu kamu lagi...", kata abi. Tapi lagi-lagi mereka menjawab dengan sombongnya, "mau apa lo kesini lagi!!! dasar ga punya malu lo ya!!!, eh lo kalau lo benar suka ama andin, lo harus buktiin ke kita-kita!!!, kata ratih. "Emang gimana cara aku buktiin kalau aku benar-benar sayang ke andin?", jawab abi. "Lo bisa ga ngambil bunga kesukaan andin?, kaya'nya lo ga bisa deh...lo kan cupu!!!", tanya ratih lagi dengan ketus. "Apa bunga yang kamu suka ndin?", tanya abi kepada andin. "Bunganya tu edelwis, tapi harus yang dari tempatnya!!! bisa ga?!!!", kata lusi dengan sombongnya. "Benar kamu suka edelwis?", tanya abi lagi kepada andin. Andin hanya menjawab pertanyaan abi dengan senyum di wajahnya. Entah apa arti dari senyum itu, apakah sebuah senyum yang tulus atau kemunafikan.

Abi seakan senang dengan tantangan dari andin dan teman-temannya itu, ia lalu pergi menemui rudi. Dan dia menceritakan apa yang dikatakan andin dan teman-temannya kepadanya, mendengar hal ini rudi sangat terkejut dna berkata "wah gila lo sob, ampe segitunya banget...cewekkan ga cuma dia doank, lagian lo kan belum pernah daki gunung, kita ga tahu keadaannya gimana". "Gua mohon sob, ga ada lagi orang yang bisa bantu gua", kata abi. Rudi lalu terdiam sesaat, dan kemudian berkata, "hmmm...ok karena lo yang minta, tapi sekali ni aja ya". Terlihat senyum di wajah abi, pertanda ia sangat bahagia mendengar jawaban dari rudi. "Kapan kita berangkat?, tanya rudi. "Besok aja haahahah....", jawab abi. "Gila lo hehehehe...", kata rudi.

Sementara itu di tempat andin dan teman-temannya, terdengar tawa yang begitu kerasnya..."hahahaha....mana mungkin si cupu itu bisa ngambil bunga edelwis", "tapi gimana kalau bisa?", kata andin. "Ya berarti lo harus pacaran ama dia donk hahahhaa!!!!", sindir ratih. Ketika mereka sedang asyiknya tertawa, tiba-tiba lusi mendatangi mereka dan langsung berkata "eh teman-teman, tadi gua dengar kabar kalau abi dan temannya bakal berangkat ngambil bunga edelwis, wah berani juga gebetan lo din haahahaha", kata lusi sambil tertawa. "Gua yakin dia ga bakal bisa...", kata andin menjawab perkataan teman-temannya sambil tersenyum kecil.

Hari-hari berlalu, sudah harmpir 5 hari semenjak abi dan rudi pergi mengambil edelwis. Tidak ada lagi seorang lelaki yang menggangu andin, begitu yang dipikirkannya, mungkin ia merasa tenang dengan tantangan yang diberikannya kepada abi, sehingga membuat abi tak lagi mendatanginya. "Eh gimana kabar kebetan lo ndin?", tanya lusi. "Iya nih, dah lima hari, kaya'nya dia gagal...mana mungkin dia bisa ngambil bunga edelwis, dia belum pernah daki gunung kan!!", balas ratih. Tapi tiba-tiba mereka melihat rudi sedang berjalan ke arah mereka. "wah guys tu sobatnya si cupu,,,kaya'nya dia kesini", kata ratih. Rudi berjalan dengan perlahan mendekati andin dan teman-temannya.

"Mana sobat lo sicupu?", kata ratih dengan tawanya. "Eh diam lo, gua ga butuh ngomong ama lo, gua cuma mau ngomong ama andin", jawab rudi. "Eh lo jangan ketus gitu ya...emang benar kok teman gua, mana sobat lo si abi cupu!!?", balas andin.
"Wah ternyata dugaan gua benar, lo tu sama sekali ga cocok buat teman gua!!!", jawab rudi. "Eh lo suruh sobat lo ngaca ya!!!, tampang minus gitu sok amat!!!", kata andin lagi. Ketika mereka sibuk beradu kata, rudi lalu menunjukkan sebuah bunga kepada andin. "Nih bunga yang lo minta, jangan kira abi ga bisa ngambilnya, lo harusnya bangga punya seorang yang benar-benar sayang ke diri lo!!!, lo pikir teman-teman lo ini lebih baik dari abi?, asal lo tahu mereka ngomongin lo dibelakang", kata rudi dengan marah.

Teman-teman andin lalu terdiam, dan seakan malu dan langsung meninggalkan andin dan rudi. Andin pun terkejut melihat tingkah teman-temannya itu, dan lalu berkata lagi kepada rudi, "maafin gua, tapi gua benar-benar ga ada niat untuk nyakitin abi". Rudi lalu menjawab kata-kata andin, "mending lo minta maaf aja langsung ke abi", kata rudi dengan mata yang berkaca-kaca. "Mana abi, gua mau ngomong ama dia", tanya andin. Rudi terdiam sesaat dan perlahan air mata jatuh dari matanya yang berkaca-kaca, lalu ia berkata dengan bibir yang bergetar "lo dah terlambat din, cuma bunga ini yang dititipkan abi ke gua sebelum...". Tapi andin langsung memotong perkataan rudi, "emang abi kenapa?",..."Abi...abi...", kata rudi yang lalu terdiam. "Abi kenapa!!!!?", kata andin sambil berteriak. "Abi kecelakaan ketika kami akan turun gunung, dan abi ga tertolong...gua tahu lo ga suka ama abi, gua mohon maafin kesalahan dia, dan tolong terima bunga ini, lo tahu,,,abi bahagia banget ketika bawa bunga ini, cuma bunga ini yang dipikirkannya, dan cuma lo nama terakhir yang diucapkannya ketika nafas terakhirnya...", kata rudi sambil menangis.

Andin hanya terdiam, dan terdiam. Terlihat tetesan air mata jatuh bagaikan bersayap dari matanya. Apakah andin menyesali apa yang telah dilakukannya?,,,dan apakah andin merasakan kehilangan seorang yang benar-benar menyayanginya?..."Maafin aku abi", kata andin sambil mencium sebuah bunga kenangan itu.



The end...

Dia Itu ....

Sebut saja namanya Dino. Dino adalah seorang cowok yang sangat memiliki karisma dan predikat tajir, yang bisa membuat banyak cewek takluk atau lengket kepadanya. Tak sulit bagi Dino untuk mencari cewek baru setelah dia putus dengan pacar lamanya. Hal ini membuat Dino seakan tak memperdulikan hati para cewek, karena merasa cewek ga ada bedanya dengan sebuah baju, bila sudah lusuh tinggal ganti yang baru. Apa kamu juga seperti ini?

Tapi tak selamanya Dino menjadi sang idola banyak cewek di sekolahnya, seorang murid baru yang baru pindah dari luar kota membuat nama Dino perlahan memudar, kenapa?. Karena banyak cewek yang lebih terkagum dengan anak baru yang bernama Tio itu...

Hari-hari berganti, semakin banyak cewek cantik yang biasanya mendekati Dino berpaling ke Tio. "Eh sob kayanya lo kalah saing deh ama si Tio", kata salah seorang teman Dino yang bermama Romi. Dino tak menjawab perkataan dari temannya itu, dan langusng berdiri kemudian melangkahkan kakinya perlahan ke arah Tio. "Hei lo anak baru!!! jangan sok pamer lo disini..!!!", kata Dino kepada Tio. Tio terkejut mendengar perkataan dari Dino itu. "Emangnya gua kenapa?", tanya Tio bingung. "Lo tu sok kegantengan tahu ga?!!", Plak...!!, kata Dino yang kemudian memukul wajah Tio. Tio terjatuh dengan memar di wajahnya, puluhan pasang mata melihat kejadian itu. "Kalau lo masih aja sok kegantengan and sok pamer, lo bakal dapet lebih dari ini!!!", bentak Dino.

Beberapa hari berlalu, bagaikan bintang yang kembali bersinar, Dino kembali dengan gaya aslinya, yaitu seorang cowok yang sok kaya dan sok cakep. Perlahan kakinya melangkah dengan dagu yang tegak ke atas, dan dengan dua orang teman di kanan serta kirinya sebagai pengawal bak seorang bos. Bel pulang pun berbunyi, terlihat banyak anak-anak murid berlari-lari mengejar, seakan terlepas dari kekangan sang guru. Terlihat Dino dan teman-temannya sedang berjalan dengan langkah sombongnya. "Eh itu kan si Tio, kok dia naik motor butut gitu sob?, katanya dia anak orang kaya?", kata Romi. "Iya-ya...kejar yu"...

Mereka lalu mengejar Tio dan membuntutinya dari belakang, "Wah kelewatan nih Din, itu dia mau ngajak si Lisa pulang bareng", kata Romi kepada Dino. Terlihat wajah yang cemburu ketika Dino melihat Tio memegang tangan Lisa. Dino pun langsung menghampiri Tio, dan lagi-lagi tanpa basa-basi Dino langsung memukul wajah Tio dengan tangan kanannya. Lisa terkejut ketika melihat Dino yang tiba-tiba marah. "Nah itu akibat lo ga matuhin kata-kata gua!!!, dasar orang miskin sok banget lo!!!", teriak Dino. "Ayo lis, lo balik ama gua aja...", kata Dino lagi sambil menarik tangan Lisa. Tapi Lisa menolak dan berontak ingin melepaskan tangannya dari Dino. "Sok banget sih lo lis!!!, ngapain lo mau pulang ama dia!!!, gua juga tahu lo tu cewek kaya apa!!! udah pulang ma gua!!!", bentak Dino. Lisa tetap melawan dan berusaha melepaskan tangannya dari Dino dan kemudian, Plak!!!. Begitu suara yang terdengar ketika Dino menampar wajah cantik dari Lisa. "Dino!!!, lo boleh mukul gua, lo boleh menghina gua!!!, tapi lo jangan nyentuh dia apalagi nampar dia!!!", teriak Tio kepada Dino. "Alah!!! bisa apa lo orang miskin!!!", jawab Dino.

Tio yang semula hanya diam, tak dapat menahan amarahnya, Tio langsung memukul Dino dengan kerasnya dan membuat Dino terjatuh ke tanah yang berdebu, terlihat darah di wajah Dino. Tio tak berhenti sampai disitu, ia lalu mengarahkan tendangannya ke badan Dino. "Ampunnn....", begitu kata Dino seakan menyerah kepada Tio dengan wajah yang penuh darah. "Awas lo ya Tio!!!, bakal gua balas lo!!!", kata Dino dengan pelan ketika Tio berjalan menginggalkannya.

Keesokan hari, Dino yang seorang anak manja telah melaporkan kejadian yang menimpanya kepada papanya, maklum Dino adalah anak yang sangat manja. Alhasil, papanya pun datang ke sekolah dengan 3 orang algojo di sampingnya. "Mana anak yang mukul kamu?!?", kata papa Dino kepadanya. "Itu pa!,..", kata Dino sambil menunjuk ke arah Tio. Algojo yang berbadan besar pun langsung menghampiri Tio. Dino tersenyum dan tertawa senang menanti Tio akan di habisi oleh anak buah papanya. "Padahal tu anak cuma anak tukang obat pa, tapi sombong bener!!!", kata Dino kepada papanya. "Anak tukang obat?, kok beraninya dia mukul kamu?, apa dia ga tahu kamu anak siapa?", jawab papa Dino yang juga sesombong anaknya.

Di tempat lain terlihat 3 orang algojo yang berbadan tegap itu sedang menggangu ketenangan dari Tio yang sedang asyiknya bercanda bersama Lisa. Tapi anehnya algojo itu pun kembali lagi dan membisiki sesuatu kepada papa Dino. "Ha?!!!", kata papa Dino yang terlihat bingung. "Yuk kita pulang", kata papa Dino kepada algojonya dan juga Dino. "Kok pulang sih pa?", masa takut ama anak kecil gitu?, masa papa seorang pengusaha sukses takut ama anak tukang obat?", kata Dino yang terlihat menjengkelkan. Tanpa disadari, Dino sangat terkejut ketika tangan dari papanya mendarat ke wajah Dino. "Kok?,,", kata Dino sambil memegang wajahnya. Terlihat amarah di wajah papa Dino dan perlahan ia berkata "Dia itu...anak dari bos papa!!!, jangan macem-macem kamu!!!". Dino langsung terdiam seakan tak mengerti, ternyata Tio adalah anak dari orang yang sangat kaya, tapi berpenampilan dan bersikap biasa-biasa saja. Dino yang telah merasa orang terkaya di sekolah itu tak mampu berkata, hanya diam dan terdiam. Ternyata harta itu bukan untuk dibanggakan dan untuk dipamerkan, agar menjadi orang yang paling di idolakan...


The end...

I want to love U with a simple

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Tie, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Arie?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Arie.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Tie? Ada masalah dengan Arie?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Tie, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Tie pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Arie? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Arie itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Tie. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Tie, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Arie yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Lewat kata yang tak sempat disampaikan

Awan kepada air yang menjadikannya tiada

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu.



The end...

Dira Oh Dira

Sebut saja namanya Dira. Dira adalah seorang cowok yang berwajah lumayan ganteng. Ditambah lagi, Dira memiliki keluarga yang bisa dibilang kaya. Tak sulit bagi Dira untuk mendapatkan banyak cewek. Ya seperti membalikkan telapak tangan saja... Tapi ketika itu, kami sedang berbincang di kantin tempat kuliah, dan tiba-tiba lewat seorang cewek yang lumayan cantik menurut saya, tapi menurut si Dira sangat cantik!. Dia pun mendatangi cewek itu, dengan rayuan dan ajian yang dimilikinya, sang cewek seakan patuh dan langsung tersenyum manis kepada Dira. Kemudian mereka pun berbincang berdua seakan sudah kenal lama. Kami terdiam dan membisu melihat Dira, tak ada kata-kata yang mampu kami ucapkan. Dari kejauhan kami melihat Dira yang kemudian berjalan perlahan dengan sang cewek tadi. "Eh gua jalan dulu ya", kata Dira sambil tersenyum. Hari-hari berlalu hampir satu bulan lamanya, selalu terlihat dan menjadi suatu yang biasa ketika Dira turun dari mobilnya sambil memegang tangan cewek yang bernama Rani itu. Sungguh mesranya mereka berdua. Tapi Dira tak berubah seperti banyak orang, yang baru mendapatkan pacar. Dira tetaplah Dira yang dulu, ia masih senang berkumpul dengan kami. Siang itu, ketika terik matahari begitu terasa hingga menusuk kulit ini, kami dan Dira berkumpul di kantin. Entah setan apa yang merasuki Dira sehingga ia mengatakan "Oi...gua mau kasih taruhan nih". Kami lalu bertanya taruhan apa?. Dira menjawab "gua yakin si Rani cinta mati ama gua!!!, kalau kalian bisa buat dia tergoda ama kalian ntar gua traktir!!!". Mendengar kata-kata Dira tadi, tentu saya sangat merasa tertantang, hehehe... Saya pun langsung bergegas mencari Rani, "benar ya!!! lo traktir gua ama anak-anak!!!", kata saya kepada Dira. "Ya tenang aja asal lo berhasil. ntar gua traktir!!!, "kata Dira. Saya melihat Rani sedang bercanda bersama-sama teman-temannya di depan sebuah kelas, dan saya menghampirinya. "Rani ya...", kata saya sambil tersenyum. "Iya", jawabnya dengan wajah yang cantik. "Eh gua boleh kenalan kan?", tanya saya. Tapi Rani hanya tersenyum. "Loh kok diam aja? gua Arie", kata saya lagi sambil memberikan tangan saya. Dan kemudian dia menyambut tangan saya dengan tangannya yang halus "iya Arie...", katanya sambil tersenyum lagi. Kemudian kamipun berbincang-bincang. Terlihat raut gembira di wajahnya, lalu saya memberanikan diri bertanya kepada Rani, "Eh Dira itu pacar kamu ya?". "Emang kenapa kamu cemburu ya?", jawab Rani sambil bercanda. "Ga cuma nanya doank kok", kata saya lagi. Rani hanya terdiam tak mejawab pertanyaan saya. "Pacarnya ya...hehehe...ga enak ah ama si Dira, ntar dia marah lagi...gua jalan dulu ya", kata saya kepada Rani. Tapi kemudian Rani yang hanya diam, memanggil saya dan langsung berkata, " Dira!!!, ga kok...gua belum punya pacar". Saya terkejut mendengar perkataan Rani ini, "terus kok sering bareng ama dia?", tanya dia lagi. "Yah lumayan kan bisa nebeng pergi ama pulang kuliah, hehehehe....", jawab Rani sambil tertawa kecil. Hati saya seakan terbeku mendengar perkataan dari Rani. Seakan ingin mengeluarkan maksud saya berkenalan dengan dia, tapi saya tak mampu dan hanya diam dan diam. Saya lalu menuju tempat Dira, dan Dira bertanya kepada saya, "gimana sob, bisa ga lo?, si Rani emang cinta mati kan ama gua?", tanya Dira sambil tersenyum. Saya tak mampu menjawab, dan terdiam sesaat, tapi Dira bertanya kembali. "Gimana ui!!!, kalau berhasil gua traktir nih!!!". Namun saya juga manusia, saya juga memiliki hati. Saya lalu menjawab pertanyaan Dira dengan perlahan "Ga berhasil sob, kayanya si Rani emang bener cinta ama lo", kata saya dan kemudian terduduk. Mendengar perkataan saya, Dira langsung tertawa kegirangan dan merasa telah menang dari kebohongan saya. "Dira...", kata saya dalam hati sambil menggelengkan kepala ketika melihatnya tertawa di atas kebodohannya sendiri.


Someone

Copyright © 1996 Fresh OrangeTemplate Modification by : ARIE SANJAYA{}

NIKMATILAH ARTIKEL DIBLOG INI SESEGAR BUAH JERUK!